Kumpulan Puisi

Lestarikanlah Karya Anak Bangsa

I. Sebuah Ranah.
Sarat para pewarta dan pemilik cerita di tanahnya, sesak pijar uraian cerita tentang bulan tersenyum semalam hingga matahari yang menunggu adzan magrib menyuruhnya pergi. Ramai juga para pemilik gunung, menanam bual hijau di kaki bangku-bangku plastik, menyemainya dengan asap silih berganti, menanti panen yang tak bermasa. Saudagar yang dulu berumah di hutan menjual duka semasa sengsara dan suka ketika nama dan wajahnya terpasang di sepuluh simpang jalan dan seratus gampong.


Ketika hujan, tak ada yang basah, sebab lebatnya tercurah pada bibir, air bermuka-muka dalam gelas, mencari pangkal hitam, warna yang memberi jejak dimana manis bertahta memberi titah para pemujanya, agar tak beranjak dari takzimnya kisah. Tak ada yang berpayung, karena mendung awan habis terhisap mulut-mulut piawai berpetir, menaungi buhul-buhul kabar tentang badai dan hujan di tanah penuh getar.

II. Sebuah Rumah.
Tak ada beranda, juga tak ada jendela, apalagi pintu tempat mengetuk dan memberi salam. Mata saja mencari tahu dimana arah yang sehala maksud, tatap dilayangkan mengikuti asap dan aroma kopi, agar rasa terbang ke awan seperti bual berwajah benar nan mengangkangi tiap tepi kisah, penghuninya segenap pemilik umur, bertukar tajuk pilihan yang semalam menjadi mimpi sewaktu tidur, angan-angan mereka larut dalam seduhan, mencari rasa di ujung lidah untuk pahit atau manisnya uraian yang akan ditakar sejawat semeja.

Rumah penuh kaki, berbagai terompah dan sepatu, juga berbagai bau peluh yang terbawa dari sawah, kebun, ruang ber AC, pasar ikan, ataupun lapangan apel pagi,langkah terayunkan adalah usungan niat untuk mencari ruang agar warta tak sia-sia terbuang di ladang atau pematang, Tak ada fakih ataupun pendusta, fatwa ataupun kabar menepi untuk berkawan, ruang mewarna ujung ujung misal yang ditahbiskan seringai, bersama aroma kopi dan tembakau, di rumah ini penghuni tak punya malam ataupun siang


2009
Sumber : Kompas.Com

0 comments:

Post a Comment