Kumpulan Puisi

Lestarikanlah Karya Anak Bangsa

Untuk langit Darussalam.
(1)
jejak mentari menjadi rajah di raut-raut yang lelah

seusai sekelumit jelajah yang patah
diantara terik yang tak laik
dan tatap yang menukik pelik

sebuah muasal kerap diterawang
di atas reruntuhan kenangan yang lekang
sarat siratan, menjadi buih di lautan
sarat kajian, terburai tak menjadi warisan

cerita duka,cerita dendam sewaktu temaram
terjelaskan disetiap ruang-ruang suam
hangat dalam kepingan sangka terpendam
terwakilkan di sejumlah bendera yang awam

serambi ini mengumandangkan hajat di ribuan kabar
melagukan niat dalam nuansa hingar
bingarmencari sejarah yang akan menghilirkan segenap kehendak
lalu kembali menarikan Saman yang tak pernah tak serentak menghentak

(2)
Ketika pengakuan para teuku merasuki nanggroe, banyak gelegar mesiu tercipta di beranda rumahnya, di ruang-ruang berbendera, di jalanan penuh roda dan asap penuh kesemuan lambang. Berharap nama yang diusung berlagu nelangsa lalu ditahbiskan bertajuk derita, sementara bala berinduk diderasnya kata. Begitu fasih meraja.

Rupa damai menjadi nuansa yang sesak oleh wajah-wajah berpupur tebal, sembunyikan sebenar rajah pertanda ingkar pada sepakat yang semestinya bermartabat. Ada maksud yang tunggang di rona senyum saat ramai niat mengganti masa lalu dengan asa mencapai nikmat ke hadapan, tanpa terkebat di buhul sengketa. Tapi masih ada yang raga memerih dengan nganga luka, terkapar sia-sia di beranda rumahnya.

Hajat marak di tiap simpang, menawarkan kiat dalam warna dan senyuman. Namun cemas berwarta di sudut-sudut kedai gampong, di uraian bual-bual setelah segelas kopi ternikmati dengan asap tembakau. Gelakpun tak menjanjikan keriangan, nikmat regukan raib saat mata enggan terpejam menunggu malam pergi dengan bayangannya yang mengebiri setiap mimpi. Lalu pagi menghembuskan lagi anginnya di tiang-tiang bendera yang bermalam dengan debu. Begitu deru.

Langit menyimpan rupa-rupa, awan-awannya diam menyimpan, hanya menunggu tubuhnya menebal dan menghitam diatas rumah-rumah, diatas pantai-pantai, diatas bukit-bukit. Lalu menangis, tercurah dalam rinai, menjadi lagu pemandu kisah negeri penanggung bala dan senandung tentang sebenar isi dada para ketua dan saudagar yg dulu berumah di hutan.
Serambi kinipun ramai doa para jelata , pada rupa-rupa tengadah mereka, lafadz bermuara pada syair-syair pinta untuk menuju sebuah ranah yang harus selalu mensyukuri karunia yang telah dihadirkanNya, tanpa kesumat, tanpa syahwat mencari lebih, lalu kembali menarikan rentak yang sama pada warna berbeda. Begitu harap.


2008-2009

Sumber : Kompas.Com

0 comments:

Post a Comment